Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk - Ahmad Tohari

Nama : Keisha Nabila Danastri Zizi Wibowo (13) 
Kelas : XII. 8
Judul : Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 1982 - 1986


Ahmad Tohari adalah salah satu sastrawan penting Indonesia yang dikenal melalui karya-karyanya yang merefleksikan kehidupan masyarakat pedesaan dengan sentuhan budaya Banyumas. Ia lahir pada 13 Juni 1948 di Desa Tinggarjaya, Banyumas, Jawa Tengah. Sejak kecil, Tohari akrab dengan suasana desa, tradisi Jawa, serta pendidikan agama Islam, yang kemudian mewarnai corak kepenulisannya.

Karya monumental Ahmad Tohari adalah trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang terdiri dari Ronggeng Dukuh Paruk (1982, Gramedia), Lintang Kemukus Dini Hari (1985, Gramedia), dan Jentera Bianglala (1986, Gramedia). Trilogi ini mengisahkan perjalanan Srintil, seorang ronggeng desa, sekaligus menggambarkan benturan tradisi, kemiskinan, dan situasi politik pasca 1965. Melalui karya ini, Tohari berhasil mengangkat kearifan lokal sekaligus menyoroti problem sosial yang dialami rakyat kecil.

Selain itu, ia juga menulis novel Kubah (1980, Pustaka Jaya) yang menyoroti perjalanan spiritual mantan anggota PKI, serta Bekisar Merah (1993, Gramedia) yang mengangkat persoalan perempuan desa yang merantau ke kota. Kumpulan cerpennya, Senyum Karyamin (1989, Gramedia), juga mendapat perhatian luas karena berhasil memotret kesederhanaan hidup masyarakat desa dengan bahasa yang hangat dan membumi.

Keistimewaan Ahmad Tohari terletak pada kemampuannya memadukan bahasa Indonesia dengan dialek Banyumasan, sehingga karyanya terasa hidup dan dekat dengan pembaca. Meski pernah menghadapi sensor pada masa Orde Baru—khususnya pada sebagian trilogi Ronggeng Dukuh Paruk—ia tetap konsisten menulis dengan keberanian dan kepedulian sosial.

Karya-karya Ahmad Tohari tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, dan Jepang. Hal ini menunjukkan daya universal dari cerita-ceritanya yang meski berangkat dari lokalitas desa, tetap mampu menyampaikan pesan kemanusiaan yang luas.

Kini, Ahmad Tohari dikenang sebagai penulis yang setia pada akar budaya Banyumas. Ia tidak hanya menghasilkan karya sastra, tetapi juga menjadi pengamat sosial dan budayawan yang peduli pada nasib masyarakat kecil. Kontribusinya menjadikannya salah satu sastrawan yang berpengaruh dalam perkembangan sastra Indonesia modern.

Postingan populer dari blog ini

Narasi Kegiatan Campus Visit ke Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA)